Gizi Buruk Tingkatkan Resiko Anak Meninggal Karena COVID
Jakarta (sumbarkini.com) - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) diminta tidak mengabaikan masalah gizi anak Indonesia ditengah pandemi COVID-19. Tingginya jumlah kematian anak yang terpapar corona virus diduga karena faktor penyerta termasuk status gizi anak Indonesia yang buruk.
Berdasarkan data Kemenkes, hingga akhir bulan Mei lalu terdapat 1.851 kasus Covid-19 pada anak berusia kurang dari 18 tahun. Dari jumlah itu, terdapat 29 kasus kematian akibat corona pada anak yang dilaporkan.
“Para pejabat yang menangani masalah gizi anak di Indonesia harus ikut bertanggung jawab terhadap tingginya angka kematian anak akibat COVID-19 karena masalah gizi buruk anak Indonesia dianggap menjadi salah satu faktor penyerta yang meningkatkan resiko kematian ini,” kata pengamat kebijakan publik Agus Pambagio di Jakarta, Minggu (14/6/2020). "Pejabat pejabat di Kementerian Kesehatan yang manangani gizi anak tidak boleh bersikap santai dan harus memiliki ‘sense of crisis’ karena jika tidak maka akan banyak lagi anak anak yang beresiko meninggal ketika terpapar COVID-19," tambah Agus.
Juru bicara pemerintah bidang kesehatan merangkap juru bicara pemerintah untuk COVId-19, Achmad Yurianto mengatakan tingginya angka kematian anak akibat virus corona disebabkan oleh faktor-faktor yang mendasarinya, khususnya kekurangan gizi, anemia dan fasilitas kesehatan anak yang tidak memadai. “Covid-19 membuktikan bahwa kita harus berjuang melawan malnutrisi,” ujar Achmad Yurianto di gedung BNPB kemarin. "Anak-anak Indonesia terperangkap dalam "lingkaran setan", siklus kekurangan gizi dan anemia yang meningkatkan kerentanan mereka terhadap virus corona," tambah pria yang akrab di sapa dengan dr Yuri itu.
Agus menambahkan, dengan berhentinya aktifitas Posyandu karena pandemi COVID-19, maka pemantauan gizi anak menjadi terganggu, dan sebagai otoritas kesehatan di Indonesia, Kemenkes harus membuat terobosan. “Tidak cukup pantauan dilakukan melalui whatsapp group seperti yang dilakukan saat ini oleh otoritas kesehatan,” tambahnya.
Pengamat dan aktivis kesehatan DR. Dr. Tubagus Rachmat Sentika, SpA, MARS, mengapresiasi tekad pemerintah dalam upaya menurunkan angka stunting yang menjadi salah satu indikator masalah gizi anak Indonesia. Namun, Rachmat mengkritisi kurangnya infrastruktur regulasi di Kementerian Kesehatan dalam upaya penanganan masalah stunting secara menyeluruh meskipun Kemenkes telah menerbitkan aturan tentang Tata Laksana Gangguan Gizi Akibat Penyakit melalui Permenkes 29 tahun 2019, namun implementasinya masih belum berjalan dengan baik.
“Aturan tersebut jelas sekali menyebutkan bahwa penanganan stunting harus dilakukan melalui survailans dan penemuan kasus oleh Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan selanjutnya bila ditemukan gangguan gizi baik gizi buruk, gizi kurang, kurus, alergi atau masalah medis lainnya harus diberikan Pangan Khusus Medis khusus (PKMK),” ungkap Deputi Menko PMK periode 2014-2016 itu mengungkapkan.
Rachmat Sentika menyampaikan kekhawatirannya bahwa anak penderita stunting yang sekarang berjumlah 8 juta anak, bisa makin bertambah jumlahnya karena ada anak gizi buruk, gizi kurang, dan gagal tumbuh yang terhambat dalam mendapatkan PKMK sesuai dengan permenkes 29/2019 karena beberapa hal. Pertama, kurangnya persamaan persepsi antar pemangku kepentingan. Kedua, tatalaksana ini belum diaplikasikan oleh pemerintah pusat dan daerah. Ketiga, sumber daya yang terbatas karena dilakukan pergeseran fokus (refocusing).
“Kemenkes harus memastikan lokasi keberadaan anak dengan gizi buruk dan kurang akibat penyakit, memastikan ketersediaan PKMK, serta semua petugas kesehatan memahami sinergitas antara Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), serta sistem rujukan terintegrasi dan dari sisi pembiayaannya,” tegas Rachmat.
Penelitian intervensi yang dilakukan oleh Profesor Damayanti dari RSCM di Kabupaten pandeglang pada tahun 2018 menunjukkan bahwa anak-anak dengan gizi buruk atau kurang naik secara signifikan setelah diberikan PKMK dalam dua bulan. PKMK yang diberikan berupa minuman dengan kalori 100 dan 150. Nutrisinya berisi elementeri diet berupa asam amino, glukosa, asam lemak dan mikronutrien yang secara evidence base sangat cocok untuk anak-anak di bawah dua tahun yang mengalami gangguan gizi.
Agus Pambagio setuju bahwa kebijakan pencegahan stunting ini harus dikawal dan dilakukan mulai pusat sampai daerah melalui kebijakan yang jelas, terkoordinasi dan mudah diimplementasikan. Walau Kementerian Kesehatan sedang disibukkan dengan upaya mengatasi pandemi COVID-19 ini, namun para pejabat yang bertanggung jawab untuk mengatasi masalah gizi anak ini harus tetap bekerja dan jangan terseret ke urusan yang bukan tugas pokoknya," ungkap Agus.
Sebelumnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga berkali kali mengingatkan seluruh jajaran menteri terkait untuk tidak melupakan ancaman stunting dan penyakit lainnya yang juga mewabah di tengah masyarakat meski kini pemerintah masih fokus menangani pandemi virus corona (Covid-19). Hal itu ditegaskan Presiden Jokowi dalam Ratas Evaluasi Proyek Startegis Nasional untuk Pemulihan Ekonomi Nasional Dampak Covid-19.
Presiden menegaskan, tidak ingin agenda-agenda strategis yang menjadi prioritas bagi kepentingan nasional berhenti saat pandemi. “Semua harus berjalan seimbang demi kepentingan bangsa. Ini artinya kita harus fokus menangani dan mengendalikan Covid, tapi agenda-agenda strategis yang berdampak besar bagi kehidupan rakyat juga tidak boleh lupakan,” tegasnya.
Presiden beberapa kali menekankan pentingnya mengatasi masalah stunting pada anak Indonesia. Dalam satu kesempatan di tahun lalu, Presiden Jokowi pernah menekankan bahwa permasalahan stunting (gagal tumbuh) timbul akibat gizi buruk yang menyebabkan anak-anak berpostur kerdil. “Hal ini tidak bisa diatasi hanya dengan membagi-bagikan biskuit, namun juga perlu dilengkapi dengan penyaluran makanan bergizi lainnya seperti ikan, susu, telur, hingga kacang hijau,” tegas presiden.
"Stunting atau gagal tumbuh merupakan ancaman utama terhadap kualitas manusia Indonesia, ancaman terhadap kemampuan daya saing bangsa. Kita sudah membagi-bagikan biskuit untuk ibu hamil dan balita. Saya lihat itu belum cukup. Tidak cukup, Perlu gerakan hidup sehat yang harus dimulai dari lingkungan tempat tumbuh kembang anak-anak menjadi sebuah lingkungan yang sehat," kata Jokowi.
“Penurunan angka stunting merupakan kerja bersama yang harus melibatkan semua elemen masyarakat. Dan saya minta untuk dibuat rencana aksi yang lebih terpadu, terintegrasi, yang memiliki dampak yang konkrit di lapangan mulai dari intervensi terhadap pola makan, pola asuh dan juga yang berkaitan dengan sanitasi," tegas Jokowi.
Pemerintah menargetkan pada 2024 angka prevalensi stunting turun menjadi 14 persen. Namun angka ini mungkin saja akan sulit tercapai dengan kondisi seperti saat ini, mengingat Posyandu dan tenaga kesehatan di Puskesmas tidak beroperasi dampak dari COVID-19. Agar target penurunan angka stunting nasional yang merupakan program prioritas nasional dapat tetap tercapai, dibutuhkan modifikasi strategi kebijakan yang dapat diimplementasikan di tingkat daerah. (*)
Berdasarkan data Kemenkes, hingga akhir bulan Mei lalu terdapat 1.851 kasus Covid-19 pada anak berusia kurang dari 18 tahun. Dari jumlah itu, terdapat 29 kasus kematian akibat corona pada anak yang dilaporkan.
“Para pejabat yang menangani masalah gizi anak di Indonesia harus ikut bertanggung jawab terhadap tingginya angka kematian anak akibat COVID-19 karena masalah gizi buruk anak Indonesia dianggap menjadi salah satu faktor penyerta yang meningkatkan resiko kematian ini,” kata pengamat kebijakan publik Agus Pambagio di Jakarta, Minggu (14/6/2020). "Pejabat pejabat di Kementerian Kesehatan yang manangani gizi anak tidak boleh bersikap santai dan harus memiliki ‘sense of crisis’ karena jika tidak maka akan banyak lagi anak anak yang beresiko meninggal ketika terpapar COVID-19," tambah Agus.
Juru bicara pemerintah bidang kesehatan merangkap juru bicara pemerintah untuk COVId-19, Achmad Yurianto mengatakan tingginya angka kematian anak akibat virus corona disebabkan oleh faktor-faktor yang mendasarinya, khususnya kekurangan gizi, anemia dan fasilitas kesehatan anak yang tidak memadai. “Covid-19 membuktikan bahwa kita harus berjuang melawan malnutrisi,” ujar Achmad Yurianto di gedung BNPB kemarin. "Anak-anak Indonesia terperangkap dalam "lingkaran setan", siklus kekurangan gizi dan anemia yang meningkatkan kerentanan mereka terhadap virus corona," tambah pria yang akrab di sapa dengan dr Yuri itu.
Agus menambahkan, dengan berhentinya aktifitas Posyandu karena pandemi COVID-19, maka pemantauan gizi anak menjadi terganggu, dan sebagai otoritas kesehatan di Indonesia, Kemenkes harus membuat terobosan. “Tidak cukup pantauan dilakukan melalui whatsapp group seperti yang dilakukan saat ini oleh otoritas kesehatan,” tambahnya.
Pengamat dan aktivis kesehatan DR. Dr. Tubagus Rachmat Sentika, SpA, MARS, mengapresiasi tekad pemerintah dalam upaya menurunkan angka stunting yang menjadi salah satu indikator masalah gizi anak Indonesia. Namun, Rachmat mengkritisi kurangnya infrastruktur regulasi di Kementerian Kesehatan dalam upaya penanganan masalah stunting secara menyeluruh meskipun Kemenkes telah menerbitkan aturan tentang Tata Laksana Gangguan Gizi Akibat Penyakit melalui Permenkes 29 tahun 2019, namun implementasinya masih belum berjalan dengan baik.
“Aturan tersebut jelas sekali menyebutkan bahwa penanganan stunting harus dilakukan melalui survailans dan penemuan kasus oleh Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan selanjutnya bila ditemukan gangguan gizi baik gizi buruk, gizi kurang, kurus, alergi atau masalah medis lainnya harus diberikan Pangan Khusus Medis khusus (PKMK),” ungkap Deputi Menko PMK periode 2014-2016 itu mengungkapkan.
Rachmat Sentika menyampaikan kekhawatirannya bahwa anak penderita stunting yang sekarang berjumlah 8 juta anak, bisa makin bertambah jumlahnya karena ada anak gizi buruk, gizi kurang, dan gagal tumbuh yang terhambat dalam mendapatkan PKMK sesuai dengan permenkes 29/2019 karena beberapa hal. Pertama, kurangnya persamaan persepsi antar pemangku kepentingan. Kedua, tatalaksana ini belum diaplikasikan oleh pemerintah pusat dan daerah. Ketiga, sumber daya yang terbatas karena dilakukan pergeseran fokus (refocusing).
“Kemenkes harus memastikan lokasi keberadaan anak dengan gizi buruk dan kurang akibat penyakit, memastikan ketersediaan PKMK, serta semua petugas kesehatan memahami sinergitas antara Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), serta sistem rujukan terintegrasi dan dari sisi pembiayaannya,” tegas Rachmat.
Penelitian intervensi yang dilakukan oleh Profesor Damayanti dari RSCM di Kabupaten pandeglang pada tahun 2018 menunjukkan bahwa anak-anak dengan gizi buruk atau kurang naik secara signifikan setelah diberikan PKMK dalam dua bulan. PKMK yang diberikan berupa minuman dengan kalori 100 dan 150. Nutrisinya berisi elementeri diet berupa asam amino, glukosa, asam lemak dan mikronutrien yang secara evidence base sangat cocok untuk anak-anak di bawah dua tahun yang mengalami gangguan gizi.
Agus Pambagio setuju bahwa kebijakan pencegahan stunting ini harus dikawal dan dilakukan mulai pusat sampai daerah melalui kebijakan yang jelas, terkoordinasi dan mudah diimplementasikan. Walau Kementerian Kesehatan sedang disibukkan dengan upaya mengatasi pandemi COVID-19 ini, namun para pejabat yang bertanggung jawab untuk mengatasi masalah gizi anak ini harus tetap bekerja dan jangan terseret ke urusan yang bukan tugas pokoknya," ungkap Agus.
Sebelumnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga berkali kali mengingatkan seluruh jajaran menteri terkait untuk tidak melupakan ancaman stunting dan penyakit lainnya yang juga mewabah di tengah masyarakat meski kini pemerintah masih fokus menangani pandemi virus corona (Covid-19). Hal itu ditegaskan Presiden Jokowi dalam Ratas Evaluasi Proyek Startegis Nasional untuk Pemulihan Ekonomi Nasional Dampak Covid-19.
Presiden menegaskan, tidak ingin agenda-agenda strategis yang menjadi prioritas bagi kepentingan nasional berhenti saat pandemi. “Semua harus berjalan seimbang demi kepentingan bangsa. Ini artinya kita harus fokus menangani dan mengendalikan Covid, tapi agenda-agenda strategis yang berdampak besar bagi kehidupan rakyat juga tidak boleh lupakan,” tegasnya.
Presiden beberapa kali menekankan pentingnya mengatasi masalah stunting pada anak Indonesia. Dalam satu kesempatan di tahun lalu, Presiden Jokowi pernah menekankan bahwa permasalahan stunting (gagal tumbuh) timbul akibat gizi buruk yang menyebabkan anak-anak berpostur kerdil. “Hal ini tidak bisa diatasi hanya dengan membagi-bagikan biskuit, namun juga perlu dilengkapi dengan penyaluran makanan bergizi lainnya seperti ikan, susu, telur, hingga kacang hijau,” tegas presiden.
"Stunting atau gagal tumbuh merupakan ancaman utama terhadap kualitas manusia Indonesia, ancaman terhadap kemampuan daya saing bangsa. Kita sudah membagi-bagikan biskuit untuk ibu hamil dan balita. Saya lihat itu belum cukup. Tidak cukup, Perlu gerakan hidup sehat yang harus dimulai dari lingkungan tempat tumbuh kembang anak-anak menjadi sebuah lingkungan yang sehat," kata Jokowi.
“Penurunan angka stunting merupakan kerja bersama yang harus melibatkan semua elemen masyarakat. Dan saya minta untuk dibuat rencana aksi yang lebih terpadu, terintegrasi, yang memiliki dampak yang konkrit di lapangan mulai dari intervensi terhadap pola makan, pola asuh dan juga yang berkaitan dengan sanitasi," tegas Jokowi.
Pemerintah menargetkan pada 2024 angka prevalensi stunting turun menjadi 14 persen. Namun angka ini mungkin saja akan sulit tercapai dengan kondisi seperti saat ini, mengingat Posyandu dan tenaga kesehatan di Puskesmas tidak beroperasi dampak dari COVID-19. Agar target penurunan angka stunting nasional yang merupakan program prioritas nasional dapat tetap tercapai, dibutuhkan modifikasi strategi kebijakan yang dapat diimplementasikan di tingkat daerah. (*)
Tidak ada komentar
Masukan dan informasinya sangat penting bagi pengembangan situs kita ini...