Bonus Demografi, Siapkan Kesejahteraan Lansia Sejak Kini
Padang (sumbarkini.com) – Bonus demografi yang santer dibicarakan saat ini hendaknya disikapi secara arif. Jangan hanya bonus-bonus yang bakal dapat diraih bangsa ini dan kiat mencapainya saja yang dikaji. Ada efek domino yang hendaknya disiapkan solusinya agar tidak menjadi bencana demografi bagi republik yang kita cintai ini.
Hal ini diungkapkan Anggota DPD RI H. Leonardy Harmainy Dt. Bandaro Basa, S.IP., MH saat ditanya pendapatnya sekaitan peningkatan jumlah usia produktif di Indonesia. “Kita bersyukur dengan kajian terkait bonus demografi yang bakal dinikmati Indonesia jelang 2045. Syukur itu harus kita tunjukkan dengan solusi nyata agar melimpahnya penduduk usia 15-64 tahun yang disebut-sebut usia produktif berkontribusi bagi kesejahteraan bangsa ke depannya,” ujarnya.
Menurut penilaian Leonardy, bonus demografi harus disikapi dengan sebaik-baiknya agar tidak berubah menjadi mimpi buruk bagi Indonesia. Jangan sampai, diharap bonus yang didapat tapi malah bencana demografi yang terjadi.
Memang bonus demografi adalah banyaknya penduduk usia produktif antara 15-64 tahun. Artinya, dengan banyaknya penduduk usia produktif, rasio ketergantungan (depency ratio) penduduk bakal rendah. Sebab produktivitasnya tinggi seiring peningkatan pendidikan dan kesehatan yang meningkat. Penduduk usia non produktif ditopang oleh mereka yang berada dalam usia produktif. Penduduk non produktif ini berada dalam rentang usia 0-15 tahun dan di atas 64 tahun.
Diungkapkannya, berdasarkan data BPS pada 2016, depency ratio bangsa Indonesia 48,4 persen. Hal ini menunjukkan 48-49 orang usia non produktif ditanggung kehidupannya oleh 100 orang berusia produktif. Persentase tersebut bakal bertambah besar dalam rentang 2020-2030 nanti dan mencapai puncaknya jelang 2040 nanti, sekira 2036 hingga 2038. Pada kondisi puncak ini, depency ratio minimal 70 persen dari total jumlah penduduk. Syaratnya harus menyiapkan generasi muda yang berkualitas tinggi SDM-nya melalui pendidikan, pelatihan, kesehatan, penyediaan lapangan kerja dan investasi
Pria yang akrab disapa Bang Leo ini mengingatkan bahwa mereka yang memasuki usia produktif saat ini adalah generasi milenial yang dikenal luas sebagai Generasi Y. Mereka umumnya orang-orang yang terbiasa memanfaatkan teknologi. Dengan dukungan teknologi, mereka menikmati kemudahan dalam melakukan aktifitas sehari-hari.
Implikasinya, generasi milenial suka pekerjaan yang fleksibel, tidak menuntut mereka berlama-lama di belakang meja atau di suatu tempat. Mereka menikmati pekerjaan yang selalu memberikan tantangan terhadap kompetensinya.
“Harus dipikirkan dunia kerja yang bisa menerima dan bisa dinikmati oleh generasi milenial sekarang. Jika tidak, mereka bakal banyak menganggur dan menjadi tidak produktif (miskin). Jadi beban negara,” tegasnya.
Sejahterakan Lansia
Leonardy mewanti-wanti besarnya jumlah penduduk usia produktif saat Indonesia emas membawa implikasi ikutan. Jumlah lansia pun akan bertambah seiring meningkatnya tingkat kesejahteraan akibat pendidikan dan kesehatan yang membaik. Jika kini jumlah lansia hanya 9,03 persen dari penduduk Indonesia, maka pada setelah Indonesia emas itu nantinya penduduk lansia bakal bertambah signifikan, menjadi sekitar 18 persen dari total penduduk Negara kita.
Kabar buruknya, pertambahan persentase yang meningkat sekira 2 kali lipat ini, akan membebani Indonesia karena jumlah penduduk yang bertambah itu puluhan juta jiwa. Jika saat ini jumlah penduduk Indonesia berada di kisaran 269 juta menurut Worldometer maka jumlah lansia 24,29 juta jiwa. Pada 2020 diproyeksikan berjumlah 27,08 juta, pada 2025 berkisar 33,69 juta jiwa.
Adapun pada 2030 diperkirakan berjumlah 40,95 juta jiwa. Sementara 2035 sudah menjadi 48,19 juta jiwa. Bakal terus bertambah apalagi diiringi peningkatan kesejahteraan, tingkat pendidikan, sanitasi, perbaikan sosial ekonomi dan kualitas kesehatan meningkatkan harapan hidup.
“Jadi menurut analisis lansia oleh Kementerian Kesehatan, pada 2035 saja penduduk lansia Indonesia sudah berjumlah 48,19 juta jiwa. Bertambah 24 juta orang. Harus ada kebijakan jaminan sosial, jaminan layanan kesehatan, fasilitas umum, serta sarana dan prasarana penunjang pemeliharaan/perawatan mereka. Harus dari sekarang dipersiapkan agar tidak menjadi beban negara nantinya,” tegas pria yang kembali terpilih sebagai Anggota DPD RI periode 2019-2024.
Pemerintah diharapkan untuk lebih maksimal memanfaatkan hasil sensus penduduk guna menghadapi permasalahan kependudukan sehingga berdampak positif bagi pembangunan. Berdasarkan data itu para lansia potensial yang masih mampu menghidupi diri mereka hendaknya dipersiapkan lapangan kerja yang memungkinkan buat mereka. Jika mereka berwirausaha, harusnya ada program yang mendukung. Harus ada program pelatihan keterampilan hingga pemasaran produk perseorangan lansia atau lembaga yang memberdayakan lansia tersebut.
“Kita tahu di Indonesia penduduk lansianya tetap bekerja di usia tua mereka. Berbagai alasan dapat dikemukakan diantaranya tidak terbiasa berpangku tangan hingga yang paling miris terpaksa bekerja karena tidak punya tabungan atau aset yang menopang hari tua mereka. Kehadiran lembaga yang memberdayakan lansia ini harus didukung dari sekarang,” ujarnya lagi.
Bagi lansia non potensial yang kehidupannya bergantung kepada orang lain, hendaknya dipikirkan pula program pensejahteraan mereka lewat program jaminan layanan kesehatan, jaminan sosial, serta hadirnya fasilitas yang memanusiakan mereka. Ini bentuk penghargaan kita terhadap perjuangan dan dedikasi selama usia produktifnya dulu.
Khusus untuk sarana dan prasarana penunjang perawatannya diperkuat dengan penerapan undang-undang No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia secara konsekwen. Jika perlu segera direvisi sesuai kondisi terkini.
Sistem panti yang diterapkan selama ini bagi para lansia harus ditinjau ulang. Sistem non panti mungkin lebih menguntungkan mengingat keterbatasan pemerintah dalam mengadakan panti lansia di seluruh Indonesia.
Pemerintah sangat terbantu dengan kehadiran lembaga atau masyarakat yang mengelola sistem non panti. Lansia pun tidak kehilangan kehangatan keluarga mereka. (*)
Hal ini diungkapkan Anggota DPD RI H. Leonardy Harmainy Dt. Bandaro Basa, S.IP., MH saat ditanya pendapatnya sekaitan peningkatan jumlah usia produktif di Indonesia. “Kita bersyukur dengan kajian terkait bonus demografi yang bakal dinikmati Indonesia jelang 2045. Syukur itu harus kita tunjukkan dengan solusi nyata agar melimpahnya penduduk usia 15-64 tahun yang disebut-sebut usia produktif berkontribusi bagi kesejahteraan bangsa ke depannya,” ujarnya.
Menurut penilaian Leonardy, bonus demografi harus disikapi dengan sebaik-baiknya agar tidak berubah menjadi mimpi buruk bagi Indonesia. Jangan sampai, diharap bonus yang didapat tapi malah bencana demografi yang terjadi.
Memang bonus demografi adalah banyaknya penduduk usia produktif antara 15-64 tahun. Artinya, dengan banyaknya penduduk usia produktif, rasio ketergantungan (depency ratio) penduduk bakal rendah. Sebab produktivitasnya tinggi seiring peningkatan pendidikan dan kesehatan yang meningkat. Penduduk usia non produktif ditopang oleh mereka yang berada dalam usia produktif. Penduduk non produktif ini berada dalam rentang usia 0-15 tahun dan di atas 64 tahun.
Diungkapkannya, berdasarkan data BPS pada 2016, depency ratio bangsa Indonesia 48,4 persen. Hal ini menunjukkan 48-49 orang usia non produktif ditanggung kehidupannya oleh 100 orang berusia produktif. Persentase tersebut bakal bertambah besar dalam rentang 2020-2030 nanti dan mencapai puncaknya jelang 2040 nanti, sekira 2036 hingga 2038. Pada kondisi puncak ini, depency ratio minimal 70 persen dari total jumlah penduduk. Syaratnya harus menyiapkan generasi muda yang berkualitas tinggi SDM-nya melalui pendidikan, pelatihan, kesehatan, penyediaan lapangan kerja dan investasi
Pria yang akrab disapa Bang Leo ini mengingatkan bahwa mereka yang memasuki usia produktif saat ini adalah generasi milenial yang dikenal luas sebagai Generasi Y. Mereka umumnya orang-orang yang terbiasa memanfaatkan teknologi. Dengan dukungan teknologi, mereka menikmati kemudahan dalam melakukan aktifitas sehari-hari.
Implikasinya, generasi milenial suka pekerjaan yang fleksibel, tidak menuntut mereka berlama-lama di belakang meja atau di suatu tempat. Mereka menikmati pekerjaan yang selalu memberikan tantangan terhadap kompetensinya.
“Harus dipikirkan dunia kerja yang bisa menerima dan bisa dinikmati oleh generasi milenial sekarang. Jika tidak, mereka bakal banyak menganggur dan menjadi tidak produktif (miskin). Jadi beban negara,” tegasnya.
Sejahterakan Lansia
Leonardy mewanti-wanti besarnya jumlah penduduk usia produktif saat Indonesia emas membawa implikasi ikutan. Jumlah lansia pun akan bertambah seiring meningkatnya tingkat kesejahteraan akibat pendidikan dan kesehatan yang membaik. Jika kini jumlah lansia hanya 9,03 persen dari penduduk Indonesia, maka pada setelah Indonesia emas itu nantinya penduduk lansia bakal bertambah signifikan, menjadi sekitar 18 persen dari total penduduk Negara kita.
Kabar buruknya, pertambahan persentase yang meningkat sekira 2 kali lipat ini, akan membebani Indonesia karena jumlah penduduk yang bertambah itu puluhan juta jiwa. Jika saat ini jumlah penduduk Indonesia berada di kisaran 269 juta menurut Worldometer maka jumlah lansia 24,29 juta jiwa. Pada 2020 diproyeksikan berjumlah 27,08 juta, pada 2025 berkisar 33,69 juta jiwa.
Adapun pada 2030 diperkirakan berjumlah 40,95 juta jiwa. Sementara 2035 sudah menjadi 48,19 juta jiwa. Bakal terus bertambah apalagi diiringi peningkatan kesejahteraan, tingkat pendidikan, sanitasi, perbaikan sosial ekonomi dan kualitas kesehatan meningkatkan harapan hidup.
“Jadi menurut analisis lansia oleh Kementerian Kesehatan, pada 2035 saja penduduk lansia Indonesia sudah berjumlah 48,19 juta jiwa. Bertambah 24 juta orang. Harus ada kebijakan jaminan sosial, jaminan layanan kesehatan, fasilitas umum, serta sarana dan prasarana penunjang pemeliharaan/perawatan mereka. Harus dari sekarang dipersiapkan agar tidak menjadi beban negara nantinya,” tegas pria yang kembali terpilih sebagai Anggota DPD RI periode 2019-2024.
Pemerintah diharapkan untuk lebih maksimal memanfaatkan hasil sensus penduduk guna menghadapi permasalahan kependudukan sehingga berdampak positif bagi pembangunan. Berdasarkan data itu para lansia potensial yang masih mampu menghidupi diri mereka hendaknya dipersiapkan lapangan kerja yang memungkinkan buat mereka. Jika mereka berwirausaha, harusnya ada program yang mendukung. Harus ada program pelatihan keterampilan hingga pemasaran produk perseorangan lansia atau lembaga yang memberdayakan lansia tersebut.
“Kita tahu di Indonesia penduduk lansianya tetap bekerja di usia tua mereka. Berbagai alasan dapat dikemukakan diantaranya tidak terbiasa berpangku tangan hingga yang paling miris terpaksa bekerja karena tidak punya tabungan atau aset yang menopang hari tua mereka. Kehadiran lembaga yang memberdayakan lansia ini harus didukung dari sekarang,” ujarnya lagi.
Bagi lansia non potensial yang kehidupannya bergantung kepada orang lain, hendaknya dipikirkan pula program pensejahteraan mereka lewat program jaminan layanan kesehatan, jaminan sosial, serta hadirnya fasilitas yang memanusiakan mereka. Ini bentuk penghargaan kita terhadap perjuangan dan dedikasi selama usia produktifnya dulu.
Khusus untuk sarana dan prasarana penunjang perawatannya diperkuat dengan penerapan undang-undang No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia secara konsekwen. Jika perlu segera direvisi sesuai kondisi terkini.
Sistem panti yang diterapkan selama ini bagi para lansia harus ditinjau ulang. Sistem non panti mungkin lebih menguntungkan mengingat keterbatasan pemerintah dalam mengadakan panti lansia di seluruh Indonesia.
Pemerintah sangat terbantu dengan kehadiran lembaga atau masyarakat yang mengelola sistem non panti. Lansia pun tidak kehilangan kehangatan keluarga mereka. (*)
Tidak ada komentar
Masukan dan informasinya sangat penting bagi pengembangan situs kita ini...