Leonardy Minta Hentikan Pembukaan FK dan FKG Baru
Jakarta (sumbarkini.com) – Sudah saatnya pemerintah Indonesia memberikan
perhatian lebih terhadap peningkatan kesehatan rakyat Indonesia. Fakta bahwa kualitas kesehatan di Indonesia hanya setingkat di atas Kamboja hendaknya menjadi keprihatinan seluruh anak bangsa.
Anggota Komite III DPD RI H. Leonardy Harmainy Dt. Bandaro Basa, S.IP., MH meminta Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi untuk benar-benar hadir dalam pendidikan kedokteran. Bagaimana mengupayakan biaya pendidikan yang terjangkau, dan mengoptimalkan peningkatan mutu dokter.
“Masalah utama saat ini adalah kompetensi dan maldistribusi dokter. Peningkatan kompetensi dokter sangat diutamakan agar tak kalah dengan dokter Singapura, Malaysia dan negara ASEAN lainnya. Bukannya malah menambah jumlah dokter tapi mengabaikan kualitas,” tegas Leonardy.
Terkait kompetensi ini, Leonardy mengingatkan agar dilakukan uji kompetensi berjenjang. Misalnya mahasiswa kedokteran setelah semester III atau IV diuji kompetensinya. Di sini kita melihat apakah mereka mampu atau tidak mengikuti pendidikan kedokteran. Uji kedua dilakukan menjelang menjadi sarjana kedokteran, terus diuji lagi saat memasuki tahap klinik (asisten dokter/dokter muda) dan saat akan mendapat ‘sertifikat’ dokter.
Dalam tiap tahapan pendidikan kedokteran, tahap pra klinik dan tahap klinik pemerintah sebaiknya hadir agar biaya pendidikan kedokteran tidak terlalu tinggi. Pemerintah harus mampu menyediakan kebutuhan biaya operasional pendidikan kedokteran per mahasiswa per tahun. Diungkapkan Leonardy, pemerintah hanya membantu biaya operasional pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Rp350 juta per tahun. Sangat jauh dari hitungan biaya operasional pendidikan minimal per tahun lembaga tersebut.
Pemerintah juga sebaiknya membebaskan, atau paling tidak meminimalkan retribusi bagi mahasiswa kedokteran/dokter muda yang tengah menjalani pendidikannya di sejumlah rumah sakit. Saat-saat menjalani pendidikan profesi dokter di rumah sakit ini, terjadi pengeluaran ganda bagi dokter muda itu. Lalu mereka dibebani lagi dengan aneka retribusi oleh pemerintah daerah. "Mari kita bantu mereka agar biaya yang sebenarnya tak perlu digunakan untuk peningkatan kualitas dan wawasan keilmuan para calon dokter ini," ajak Pimpinan DPRD Sumbar 2004-2014 ini.
Leonardy yang menjadi dewan penyantun di berbagai perguruan tinggi di Sumbar sangat mengharapkan Kemenristek Dikti untuk mendahulukan bantuan biaya operasional pendidikan ini dan peningkatan kompetensi dokter Indonesia dibanding memperbanyak Fakultas Kedokteran (FK) dan Fakultas Kedokteran Gigi (FKG). Bahkan kalau perlu, Kemenristek Dikti harus melakukan moratorium untuk pembukaan FK dan FKG baru demi menjaga mutu kesehatan bangsa Indonesia.
Leonardy menengarai penambahan FK dan FKG banyak yang tidak memenuhi prosedur. Dia mencontohkan, penambahan FK dari 72 menjadi 89 FK, hanya 6 FK yang proses visitasinya sesuai prosedur (diikuti unsur atau elemen terkait). Kini ada pula 32 FKG di Indonesia.
Fakta yang membuat miris lainnya, kebanyakan pendidikan kedokteran masih terakreditasi C. Sekitar 11.000 dokter yang lulus setiap tahun, umumnya berasal dari institusi pendidikan berakreditasi C ini. Masalah baru akan timbul jika mereka tidak lulus-lulus dalam uji kompetensi yang telah didesain sedemikian rupa. Soal-soal uji kompetensi melalui tryout dan perbaikan berdasarkan feedback dari tiaptryout yang dilaksanakan hingga benar-benar menguji kemampuan-kemampuan dasar yang harus dimiliki seorang dokter.
“Ini PR besar bagi Kemenristek Dikti. Pilihan moratorium sudah menjadi keharusan saat ini. Jika tidak makin banyak dokter yang menganggur lantaran tidak kunjung lulus uji kompetensi. Tentu mereka tidak boleh berpraktek sebagai dokter,” ujarnya.
Pada kesempatan itu, Leonardy juga mengungkapkan fakta saat ini ada 50 dokter per 100.000 penduduk di Indonesia. Sementara kebutuhan jumlah dokter yang telah dihitung oleh Kementerian Kesehatan adalah 45 dokter per 100.000 penduduk. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah dokter sebenarnya telah melebihi target. Hanya distribusinya saja yang tidak merata.
Ketidakmerataan distribusi (maldistribusi) dokter menyebabkan dokter-dokter yang ada saat ini terkonsentrasi di Indonesia Bagian Barat.Sekitar 92.471 dokter umum dan 22.256 dokter spesialis berada di Indonesia Bagian Barat. Mereka pun umumnya memilih berdinas/praktek di perkotaan.
Leonardy menyarankan agar moratorium dilakukan bertahap agar tidak merugikan banyak pihak. Bisa saja dengan menunggu FK baru menuntaskan angkatan terakhir yang diterimanya sampai wisuda. Lalu dokter lulusan FK baru tersebut dievaluasi. “Lihat kualitas mereka dan ambil keputusan penutupan FK bersangkutan,” pungkasnya. (*)
perhatian lebih terhadap peningkatan kesehatan rakyat Indonesia. Fakta bahwa kualitas kesehatan di Indonesia hanya setingkat di atas Kamboja hendaknya menjadi keprihatinan seluruh anak bangsa.
Anggota Komite III DPD RI H. Leonardy Harmainy Dt. Bandaro Basa, S.IP., MH meminta Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi untuk benar-benar hadir dalam pendidikan kedokteran. Bagaimana mengupayakan biaya pendidikan yang terjangkau, dan mengoptimalkan peningkatan mutu dokter.
“Masalah utama saat ini adalah kompetensi dan maldistribusi dokter. Peningkatan kompetensi dokter sangat diutamakan agar tak kalah dengan dokter Singapura, Malaysia dan negara ASEAN lainnya. Bukannya malah menambah jumlah dokter tapi mengabaikan kualitas,” tegas Leonardy.
Terkait kompetensi ini, Leonardy mengingatkan agar dilakukan uji kompetensi berjenjang. Misalnya mahasiswa kedokteran setelah semester III atau IV diuji kompetensinya. Di sini kita melihat apakah mereka mampu atau tidak mengikuti pendidikan kedokteran. Uji kedua dilakukan menjelang menjadi sarjana kedokteran, terus diuji lagi saat memasuki tahap klinik (asisten dokter/dokter muda) dan saat akan mendapat ‘sertifikat’ dokter.
Dalam tiap tahapan pendidikan kedokteran, tahap pra klinik dan tahap klinik pemerintah sebaiknya hadir agar biaya pendidikan kedokteran tidak terlalu tinggi. Pemerintah harus mampu menyediakan kebutuhan biaya operasional pendidikan kedokteran per mahasiswa per tahun. Diungkapkan Leonardy, pemerintah hanya membantu biaya operasional pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Rp350 juta per tahun. Sangat jauh dari hitungan biaya operasional pendidikan minimal per tahun lembaga tersebut.
Pemerintah juga sebaiknya membebaskan, atau paling tidak meminimalkan retribusi bagi mahasiswa kedokteran/dokter muda yang tengah menjalani pendidikannya di sejumlah rumah sakit. Saat-saat menjalani pendidikan profesi dokter di rumah sakit ini, terjadi pengeluaran ganda bagi dokter muda itu. Lalu mereka dibebani lagi dengan aneka retribusi oleh pemerintah daerah. "Mari kita bantu mereka agar biaya yang sebenarnya tak perlu digunakan untuk peningkatan kualitas dan wawasan keilmuan para calon dokter ini," ajak Pimpinan DPRD Sumbar 2004-2014 ini.
Leonardy yang menjadi dewan penyantun di berbagai perguruan tinggi di Sumbar sangat mengharapkan Kemenristek Dikti untuk mendahulukan bantuan biaya operasional pendidikan ini dan peningkatan kompetensi dokter Indonesia dibanding memperbanyak Fakultas Kedokteran (FK) dan Fakultas Kedokteran Gigi (FKG). Bahkan kalau perlu, Kemenristek Dikti harus melakukan moratorium untuk pembukaan FK dan FKG baru demi menjaga mutu kesehatan bangsa Indonesia.
Leonardy menengarai penambahan FK dan FKG banyak yang tidak memenuhi prosedur. Dia mencontohkan, penambahan FK dari 72 menjadi 89 FK, hanya 6 FK yang proses visitasinya sesuai prosedur (diikuti unsur atau elemen terkait). Kini ada pula 32 FKG di Indonesia.
Fakta yang membuat miris lainnya, kebanyakan pendidikan kedokteran masih terakreditasi C. Sekitar 11.000 dokter yang lulus setiap tahun, umumnya berasal dari institusi pendidikan berakreditasi C ini. Masalah baru akan timbul jika mereka tidak lulus-lulus dalam uji kompetensi yang telah didesain sedemikian rupa. Soal-soal uji kompetensi melalui tryout dan perbaikan berdasarkan feedback dari tiaptryout yang dilaksanakan hingga benar-benar menguji kemampuan-kemampuan dasar yang harus dimiliki seorang dokter.
“Ini PR besar bagi Kemenristek Dikti. Pilihan moratorium sudah menjadi keharusan saat ini. Jika tidak makin banyak dokter yang menganggur lantaran tidak kunjung lulus uji kompetensi. Tentu mereka tidak boleh berpraktek sebagai dokter,” ujarnya.
Pada kesempatan itu, Leonardy juga mengungkapkan fakta saat ini ada 50 dokter per 100.000 penduduk di Indonesia. Sementara kebutuhan jumlah dokter yang telah dihitung oleh Kementerian Kesehatan adalah 45 dokter per 100.000 penduduk. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah dokter sebenarnya telah melebihi target. Hanya distribusinya saja yang tidak merata.
Ketidakmerataan distribusi (maldistribusi) dokter menyebabkan dokter-dokter yang ada saat ini terkonsentrasi di Indonesia Bagian Barat.Sekitar 92.471 dokter umum dan 22.256 dokter spesialis berada di Indonesia Bagian Barat. Mereka pun umumnya memilih berdinas/praktek di perkotaan.
Leonardy menyarankan agar moratorium dilakukan bertahap agar tidak merugikan banyak pihak. Bisa saja dengan menunggu FK baru menuntaskan angkatan terakhir yang diterimanya sampai wisuda. Lalu dokter lulusan FK baru tersebut dievaluasi. “Lihat kualitas mereka dan ambil keputusan penutupan FK bersangkutan,” pungkasnya. (*)
Tidak ada komentar
Masukan dan informasinya sangat penting bagi pengembangan situs kita ini...